Cadangan Pangan di Bulog dan BUMN Pangan Kritis

- Selasa, 06 Desember 2022 11:40 WIB
Cadangan Pangan di Bulog dan BUMN Pangan Kritis
Istimewa
Pekerja di gudang Bulog.
bulat.co.id -Kepala Badan Pangan Nasional (BPN) Arif Prasetyo Adi mengungkapkan cadangan pangan di Bulog dan BUMN Pangan sedang kritis.

Ia menjabarkan cadangan bahan pangan yang dimiliki pemerintah saat ini hanya beras, gula pasir, daging kerbau, dan sedikit minyak goreng.

"Untuk cadangan pangan di Bulog dan BUMN pangan ini memang saat ini kita hanya punya beras, gula pasir, daging kerbau, ya sedikit di minyak goreng," ujar Arif dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Senin (5/12/2022).

Jumlah pasokan yang ada pun hanya sedikit. Jika dirinci, beras yang dimiliki pemerintah hanya sebanyak 515.119 ton. Padahal kebutuhan beras untuk bulanan nasional mencapai 2,5 juta ton.

Artinya, pemerintah hanya memiliki cadangan sebesar 21 persen dari kebutuhan nasional.

Baca Juga:Mentan Pastikan Stok Beras Aman, Hanya Mahal Sedikit

Untuk komoditas pangan lainnya, Bulog hanya memiliki 23.157 ton daging kerbau dan ID Food hanya memiliki 697 ton daging sapi. Pasokan tersebut hanya 40 persen dari kebutuhan bulanan nasional yang sebesar 60 ribu ton.

Sementara, pasokan Bulog dan BUMN Pangan untuk jagung, kedelai, cabai, daging ayam, bawang merah, dan bawang putih, serta telur ayam semuanya tidak mencapai 1 persen.

Padahal kebutuhan bulanan akan komoditas pangan tersebut cukup banyak. Untuk jagung dibutuhkan 1,2 juta ton, telur ayam 458 ribu ton, bawang merah 90 ribu ton, cabai 165 ribu ton, kedelai 247 ribu ton, dan daging ayam membutuhkan 266 ribu ton.

Untuk minyak goreng, pemerintah memiliki hanya 21.125 kl dengan kebutuhan nasional 332 ribu kl per bulan. Stok yang dimiliki ini hanya mampu memenuhi 4 persen kebutuhan nasional.

"Ini adalah tugas Badan Pangan Nasional nanti tentunya bersama BUMN di bidang pangan termasuk Bulog, ID Food, dan PTPN 3. Dalam prosesnya kita juga sudah mempersiapkan dan sudah jadi Perpres 125/2022 tentang cadangan pangan pemerintah yang selama ini kita punya hanya beras, sehingga paralel kita kerjakan stok komoditas lainnya," tutur Arif, dilansir dari CNNIndonesia.


Melihat kondisi tersebut, apakah Indonesia bisa terancam krisis pangan?

Pakar Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi mengatakan krisis pangan terjadi bukan karena cadangan pemerintah yang menipis, melainkan jika banyak orang kelaparan, tidak bisa makan, atau tidak yakin apakah besok bisa makan.

Risiko krisis pangan terjadi jika harga-harga pangan naik tinggi sehingga banyak yang tidak mampu membeli pangan.

Lagi pula, BPN menyatakan cadangan pangan yang menipis merupakan milik pemerintah dan BUMN. Sedangkan cadangan pangan yang utama justru ada di masyarakat yaitu di produsen, distributor, eceran, rumah tangga, dan lainnya.

"Saat ini Indonesia tidak sedang krisis pangan. Peta kerawanan pangan menunjukkan secara umum daerah-daerah di Indonesia aman," ujar Bayu.

Menurut Bayu, kekhawatiran BPN akan stok pemerintah termasuk di BUMN bukan karena akan terjadi krisis pangan, melainkan karena dua hal.
Pertama, jika terdapat gangguan atau rawan pangan di beberapa daerah yang memang berisiko, pemerintah akan tidak leluasa mengatasinya.

Kedua, jika terjadi kenaikan harga pangan tertentu yang memberatkan kelompok masyarakat atau mendorong terjadinya inflasi pangan, bisa jadi pemerintah akan kesulitan melakukan intervensi.

Bayu menjelaskan menipisnya cadangan pangan pemerintah dan BUMN karena ada gangguan dalam rantai pasok global. Negara-negara membatasi ekspor sehingga ketersediaan pangan di pasar internasional menurun. Ditambah lagi, adanya kenaikan harga energi dan kenaikan harga pupuk.

Menurutnya pemerintah bisa melakukan pengendalian dan stabilitas harga yang baru dengan menggabungkan mekanisme pasar dan pola public service obligation (PSO) anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

PSO merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas atau perbedaan harga pokok penjualan BUMN atau swasta dengan harga atas produk atau jasa tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah agar pelayanan produk atau jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.

"BUMN perlu diarahkan untuk mampu melaksanakan pola tersebut," kata Bayu.

Senada, Peneliti Core Eliza Mardian mengatakan ketersediaan pangan milik pemerintah dan BUMN yang menipis bukan menjadi tanda Indonesia mengalami krisis pangan karena porsi penguasaan pemerintah yang relatif sedikit terhadap ketersediaan pangan nasional.
Misalnya beras, di mana Bulog hanya menguasai kurang lebih 10 persen terhadap total produksi beras nasional. Sedangkan 90 persen dikendalikan pelaku swasta di mana ini kurang tercatat dengan baik sehingga stok beras ril di masyarakat dan swasta tidak diketahui dengan pasti.

"Dengan penguasaan pemerintah yang relatif sedikit, tidak bisa menjadi jaminan bahwa kita mengalami krisis karena untuk kasus beras 90 persen-nya di masyarakat tidak tercatat," ujar Eliza.

Ketiadaan data pangan yang dikendalikan swasta disebut bisa memicu spekulasi dan kebijakan yang tidak tepat sehingga berujung pada kerugian masyarakat dan produsen yakni petani atau peternak. Sebab itu, perlu pendataan di level produksi, penggilingan dan gudang, sehingga bisa memantau ketersediaan.

Eliza mengatakan rendahnya serapan gabah petani oleh Bulog disebabkan karena terbatasnya fasilitas Bulog serta harganya yang lebih rendah dibandingkan penggilingan swasta.

Berdasarkan penelitiannya di sentra produksi beras di Cianjur, ia menemukan mayoritas gabah petani banyak diserap penggilingan swasta.

Menurutnya, Bulog seharusnya lebih maksimal dalam menyerap gabah petani jika untuk penugasan demi cadangan beras pemerintah. Dalam pembelian gabah, imbuhnya, seharunya Bulog lebih memaksimalkan harga beli dari petani.

"Daripada impor menguntungkan petani luar, mending bantu menguntungkan petani dalam negeri," ujarnya.

Ia mengatakan ketersediaan pangan yang menipis memang bisa berdampak pada inflasi karena inflasi terutama di negara berkembang lebih banyak didorong oleh volatile food.

"Maka dari itu menjaga harga pangan adalah sebuah keniscayaan. Ini bisa dijaga jika ada data yang valid dan akurat. Pemerintah hingga saat ini blm memiliki neraca pangan tiap komoditas, ini yg perlu dibuat," ujarnya.
Di sisi lain, rencana pemerintah melakukan impor beras dianggap sudah terlambat karena komoditas tersebut diramal tiba menjelang panen raya. Sehingga kebijakan impor beras itu akan merugikan petani lantaran harga pembelian gabah di tingkat petani langsung turun.

Sementara itu, Direktur Utama Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan penurunan cadangan beras Bulog disebabkan karena kenaikan harga pupuk non-subsidi yang cukup signifikan, sementara pupuk subsidi hanya mampu memenuhi 30 persen total kebutuhan pupuk nasional.

Kemudian pemerintah juga masih memiliki masalah dengan data cadangan beras. Meskipun sudah ada BPN, koordinasi data antarinstansi dan kementerian masih belum bersinergi.

"Sehingga di satu sisi ada klaim beras sedang surplus, sementara dari Bulog klaim cadangan berasnya menipis. Jadi masalah pendataan ini juga harus segera diperbaiki," katanya.

Bhima menilai jika cadangan pangan khususnya beras yang menipis terus dilanjutkan maka tidak hanya bisa meningkatkan inflasi tetapi juga berpengaruh langsung ke garis kemiskinan. Pasalnya sebagian besar garis kemiskinan disumbang oleh beras.
"Jadi kalau beras naik di pasaran, maka efeknya bisa ke inflasi di akhir tahun ini dan di 2023 inflasinya bisa lebih tinggi dipicu oleh inflasi pangan," gurjar Bhima. Untuk mengatasi kondisi tersebut, Bhima menyarankan pemerintah harus memperbaiki data terkait pangan nasional.

Kemudian, anggaran Bulog juga sebaiknya ditambah untuk merevitalisasi gudang di daerah serta untuk meningkatkan kapasitas serapan gabah dari petani. Pemerintah juga bisa menambah anggaran subsidi pupuk, bahkan dua kali lipat pada tahun depan.

Di sisi lain, jika pemerintah ingin impor beras maka harus dilakukan dengan hati-hati karena impor bisa berpengaruh terhadap harga gabah petani. Jika impornya terlalu membanjiri pasar dalam negeri, banyak petani justru malas untuk menanam padi dan beralih ke komoditas tanamannya lain. Jika hal itu terjadi, maka luas area panen padi bisa berkurang ke depannya.

Advertisement
Editor
:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru