Cadangan Pangan di Bulog dan BUMN Pangan Kritis

- Selasa, 06 Desember 2022 11:40 WIB
Cadangan Pangan di Bulog dan BUMN Pangan Kritis
Istimewa
Pekerja di gudang Bulog.
Pertama, jika terdapat gangguan atau rawan pangan di beberapa daerah yang memang berisiko, pemerintah akan tidak leluasa mengatasinya.

Kedua, jika terjadi kenaikan harga pangan tertentu yang memberatkan kelompok masyarakat atau mendorong terjadinya inflasi pangan, bisa jadi pemerintah akan kesulitan melakukan intervensi.

Bayu menjelaskan menipisnya cadangan pangan pemerintah dan BUMN karena ada gangguan dalam rantai pasok global. Negara-negara membatasi ekspor sehingga ketersediaan pangan di pasar internasional menurun. Ditambah lagi, adanya kenaikan harga energi dan kenaikan harga pupuk.

Menurutnya pemerintah bisa melakukan pengendalian dan stabilitas harga yang baru dengan menggabungkan mekanisme pasar dan pola public service obligation (PSO) anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

PSO merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas atau perbedaan harga pokok penjualan BUMN atau swasta dengan harga atas produk atau jasa tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah agar pelayanan produk atau jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.

"BUMN perlu diarahkan untuk mampu melaksanakan pola tersebut," kata Bayu.

Senada, Peneliti Core Eliza Mardian mengatakan ketersediaan pangan milik pemerintah dan BUMN yang menipis bukan menjadi tanda Indonesia mengalami krisis pangan karena porsi penguasaan pemerintah yang relatif sedikit terhadap ketersediaan pangan nasional.
Misalnya beras, di mana Bulog hanya menguasai kurang lebih 10 persen terhadap total produksi beras nasional. Sedangkan 90 persen dikendalikan pelaku swasta di mana ini kurang tercatat dengan baik sehingga stok beras ril di masyarakat dan swasta tidak diketahui dengan pasti.

"Dengan penguasaan pemerintah yang relatif sedikit, tidak bisa menjadi jaminan bahwa kita mengalami krisis karena untuk kasus beras 90 persen-nya di masyarakat tidak tercatat," ujar Eliza.

Ketiadaan data pangan yang dikendalikan swasta disebut bisa memicu spekulasi dan kebijakan yang tidak tepat sehingga berujung pada kerugian masyarakat dan produsen yakni petani atau peternak. Sebab itu, perlu pendataan di level produksi, penggilingan dan gudang, sehingga bisa memantau ketersediaan.

Eliza mengatakan rendahnya serapan gabah petani oleh Bulog disebabkan karena terbatasnya fasilitas Bulog serta harganya yang lebih rendah dibandingkan penggilingan swasta.

Berdasarkan penelitiannya di sentra produksi beras di Cianjur, ia menemukan mayoritas gabah petani banyak diserap penggilingan swasta.

Menurutnya, Bulog seharusnya lebih maksimal dalam menyerap gabah petani jika untuk penugasan demi cadangan beras pemerintah. Dalam pembelian gabah, imbuhnya, seharunya Bulog lebih memaksimalkan harga beli dari petani.

"Daripada impor menguntungkan petani luar, mending bantu menguntungkan petani dalam negeri," ujarnya.

Ia mengatakan ketersediaan pangan yang menipis memang bisa berdampak pada inflasi karena inflasi terutama di negara berkembang lebih banyak didorong oleh volatile food.

"Maka dari itu menjaga harga pangan adalah sebuah keniscayaan. Ini bisa dijaga jika ada data yang valid dan akurat. Pemerintah hingga saat ini blm memiliki neraca pangan tiap komoditas, ini yg perlu dibuat," ujarnya.

Advertisement
Editor
:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru