Derbi Hendry-Atal: Mengungkap Skenario Pemaksaan Kehendak
Hendri Ch
Bangun akhirnya dipercaya
menakhodai PWI untuk 5 tahun kedepan
setelah mengalahkan Atal S Depari (incumbent) dengan skor dukungan 41-47 suara.
Baca Juga:
Laga final
Hendry-Atal ibarat derbi dalam istilah olahraga. Keduanya berasal dari Sumatera Utara dan sama-sama
bersuku Karo. Serunya lagi keduanya malah pernah bertarung dalam Kongres PWI
XXIV tahun 2018 di Solo dan dimenangkan Atal dengan skor 38-35. Atal pun diberi
amanah memimpin PWI untuk masa bakti 2018-2023.
Dalam Kongres Bandung Hendry melakukan revans,
apalagi selisih suara Kongres Solo cukup tipis hanya 3 suara, dan di Kongres
Bandung Hendry mampu mendulang selisih 6 suara. Apakah Atal akan melakukan
revans 5 tahun kedepan? Wallahualam, semua kemungkinan bisa saja terjadi.
Pertarungan derbi Hendry-Atal di Kongres Bandung
cukup menarik dengan munculnya
Zulmansyah Sekedang, Ketua PWI Riau tokoh muda yang gagah berani menawarkan
program Hebat untuk kemajuan PWI sebagai calon Ketua Umum.
Walaupun
hanya tampil dalam kontestasi putaran pertama dan meraih 9 suara, namun
Zulmansyah menjadi kunci kemenangan Hendry.
Di putaran pertama, Hendry meraih 39 suara dan Atal
40 suara dari 88 suara yang
diperebutkan. Dikarenakan tak satupun
calon melewati batas ambang minimal ½ N
+ 1 dilanjutkan ke putaran kedua, dan
disinilah pertandingan derbi itu
terulang lagi.
Lobi-lobi tingkat tinggi pun berlangsung spontan
dengan pertimbangan subjektif dan objektif, bahkan rasional dan irasional.
Dalam proses waktu yang sempit, 8 suara pendukung Zulmansyah beralih ke Hendry Bangun, sementara Atal Depari hanya
mampu menambah 1 suara. Alhasil total suara Hendry 39 + 8 = 47 suara, sementara
Atal 40 + 1 = 41 suara.
Dan klop, PWI memiliki nakhoda baru Hendry Ch Bangun
untuk masa bakti 2023-2028, sementara Sasongko Tedjo secara aklamasi didaulat
sebagai Ketua Dewan Kehormatan (DK) PWI untuk masa bakti yang sama.
Lantas, apa yang menarik dari perhelatan akbar
demokrasi di PWI? Secara angka-angka dalam setiap proses pemilihan masih dalam
koridor kelaziman. Pengajuan calon, perhitungan hingga menghasilkan pemenang
adalah hal yang biasa.
Namun ada
yang tak biasa seakan memunculkan
skenario memaksakan kehendak dari 'kubu incumbent' untuk memenangkan pertarungan.
Melalui
steering committe (SC) disiapkan draft rancangan tata tertib (tatib) yang masih mengacu pada Peraturan
Dasar-Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT), namun saat membedah persyaratan calon Ketua Umum disitulah
tergambar ada skenario pemaksaan kehendak
yang sebagian persyaratannya
tidak diatur dalam PD-PRT.
Dukungan 20 Persen
Sejumlah persyaratan calon Ketua Umum dalam tatib
yang paling krusial dan menjadi perdebatan panjang dalam rancangan tata tertib dituliskan
tentang batasan usia minimal calon 40
tahun dan setiap calon harus dukungan tertulis minimal 20 persen dari jumlah PWI Provinsi.
Dua rancangan persyaratan ini seolah 'dipaksakan' dan terkesan 'pesanan'
untuk menggagalkan hak anggota mencalonkan diri atau yang lebih ekstrim lagi
hanya akan ada satu orang yang bisa mencalonkan diri karena dukungan suara
provinsi dikuasai satu calon, dan hampir dipastikan aklamasi.
Padahal,
dalam PD-PRT memang ada mengatur
batas usia minimal 40 tahun, namun syarat itu hanya untuk calon Ketua Dewan Kehormatan (DK) dan
Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) beserta anggota dengan ditambah persyaratan
lainnya, sementara untuk calon Ketua Umum tidak mengatur batasan usia.
Untungnya dari anggota yang ingin mencalonkan diri
tak ada yang berusia dibawah 40 tahun sehingga aturan itu tidak terlalu
dipersoalkan, namun dalam perdebatan sempat dimunculkan wacana batas usia
maksimal juga diatur jika batas usia minimal terus dipaksakan.
Perdebatan
yang paling seru terjadi saat SC
'memaksakan' rancangan persyaratan dukungan provinsi 20 persen, namun
rancangan pasal ini akhirnya dihapus setelah dilakukan voting dan lebih banyak provinsi yang tidak
menyetujui pasal tersebut dicantumkan.
Sebenarnya pasal-pasal tambahan yang tidak diatur
dalam PD-PRT bisa saja dijadikan bagian dari persyaratan namun harus diumumkan
jauh-jauh hari, tidak ujug-ujug dimunculkan dalam proses pemilihan.
Hal ini juga mengacu pada mekanisme format dukungan,
termasuk jika terjadi dukungan ganda terhadap calon. Sikap pemaksaan kehendak
tanpa melalui mekanisme ini mengindikasikan calon incumbent ingin memanfaatkan
kewenangan SC mengendalikan persidangan.
Penguatan terhadap skenario pemaksaan kehendak ini
makin sangat kentara manakala pimpinan sidang sementara dari unsur SC berulang
kali menyampaikan hal-hal yang belum diatur dapat diputuskan dalam Kongres,
karena Kongres merupakan forum tertinggi dalam sebuah organisasi.
Sebenarnya apa yang disampaikan Pimpinan sidang
sementara benar, karena makna Kongres ini adalah menyempurnakan aturan
organisasi agar lebih baik, namun harus tetap mengacu pada PD-PRT, Kode Etik
Jurnalistik (KEJ) dan Kode Prilaku Wartawan (KPW) PWI. Utamanya harus dikecualikan terhadap 'niatan tertentu'
yang berujung pada kepentingan kelompok.
Dan yang perlu digaris-bawahi adalah keputusan yang
sangat prinsipil tidak berlaku secara serta merta, apalagi dalam PD-PRT
disebutkan hal-hal perubahan PD-PRT yang disahkan oleh Kongres harus dibuat dalam akte notaris.
Peraturan Organisasi
Solusi lain yang selama ini belum dilakukan pengurus
pusat adalah menyiapkan Peraturan Organisasi (PO) atau istilah lainnya yang
permanen guna melengkapi/menyempurnakan hal-hal tehnis yang belum diatur dalam
PD-PRT, KEJ maupun KPW.
Keberadaan PO
yang merupakan turunan dari PD-PRT dianggap perlu dan mendesak khususnya
menyikapi tata cara pemilihan Ketua Pusat, Ketua Provinsi dan Ketua Kabupaten/Kota,
persyaratan calon, jadwal pendaftaran dan hal-hal lain yang dianggap prinsipil.
Penolakan
terhadap dukungan 20 persen dari Provinsi dan perdebatan tentang batas usia
minimal untuk menjadi calon Ketua menjadi bukti perlunya aturan tambahan yang menjadi acuan dalam melaksanakan
mekanisme organisasi.
Itu ditingkat pusat, bagaimana ditingkat Provinsi
atau Kabupaten/Kota? Malah lebih nyelimet lagi. Persoalannya, ada pasal di
PD-PRT yang membuka peluang terciptanya money politics terkait dengan
mandataris bagi anggota yang tidak hadir dalam pelaksanaan Konferensi.
Pasal 33 ayat
4 PRT menyebutkan; Anggota yang memberikan mandat dianggap hadir. Disini pemicu
money politics itu terjadi. Tanpa sadar kita seakan membenarkan terjadinya jual
beli mandat menjelang Konferensi.
Walaupun
tujuan mandataris itu adalah bentuk kehadiran anggota dalam suasana apapun di
Konferensi, namun fakta di lapangan yang terjadi adalah kegiatan transaksional.
Harusnya,
mandataris hanya digunakan untuk
memenuhi kourum 2/3 saja, dan untuk proses pemilihan harus dilakukan bagi
anggota yang hadir langsung.
Khusus untuk
wilayah Provinsi di kawasan Papua mungkin bisa dimaklumi dengan alasan jarak
tempuh atau peristiwa khusus seperti merebaknya wabah Covid 19 yang baru lalu,
namun untuk daerah dan kondisi yang masih normal hal tersebut perlu menjadi
pertimbangan.
Hal lain juga yang perlu disikapi adalah
pemberlakuan Kartu anggota seumur hidup bagi anggota yang berusia 60 tahun
(pasal 9 ayat 4 PRT).
Pasal ini
juga perlu disempurnakan dengan kewajiban mereka-mereka yang berusia diatas 60
tahun untuk melakukan registrasi tahunan atau 5 tahun sekali.
Langkah ini
juga dimaksudkan untuk pendataan anggota menjadi lebih valid sekaligus guna
menghindari penyalahgunaan suara saat berlangsungnya Konferensi.
'Pembunuhan Hak'
Skenario pemaksaan kehendak pun makin kentara
terlihat saat Sidang Komisi pembahasan PD-PRT, KEJ dan KPW di Komisi A.
Perdebatan
yang menjurus pada keributan terjadi pada saat pembahasan periodesasi
kepengurusan di tingkat PWI Kabupaten/Kota.
Dalam draft masa periodesasi dituliskan 5 tahun,
sama seperti kepengurusan di Pusat dan Provinsi, namun sebagian besar peserta
sidang menolak dan akhirnya tetap menyepakati
3 tahun.
Pasal yang paling mengejutkan dan terkesan
diciptakan untuk 'pembunuhan hak' anggota sebagai pengurus tergambar di draft
pasal 29 ayat 1 PD.
Di pasal ini
tertulis; Anggota yang akan atau masih menduduki jabatan di Lembaga-lembaga
negara tertentu seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi Informasi (KI), Komnas HAM,
Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum (DKPP), Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF) dan staf/tenaga ahli di
kementerian/Lembaga pemerintahan harus non aktif dari pengurus.
Pasal diatas sangat kontradiktif dengan pasal 16
ayat 1 KPW; Wartawan yang akan menduduki jabatan atau telah selesai menduduki
jabatan sebagai ketua, sekretaris, anggota atau staf di lembaga-lembaga negara
seperti, namun tidak terbatas pada, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) atau Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID), Komisi
Informasi (KI), Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Sensor Film (LSF), dapat tetap menjadi
pengurus PWI pada semua tingkatan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut selain
untuk melayani kepentingan publik juga
tidak mengandung benturan kepentingan dengan tugas-tugas atau prinsip
kewartawanan.
Jika dianalisis, pembalikan makna pasal yang
bertolakbelakang ini jika dibaratkan dari positif menjadi negatif, dari jantan
menjadi betina, dari baik menjadi buruk
hingga perpindahan pasal dari KPW
ke PD-PRT mengindikasikan ada upaya 'pembunuhan hak' anggota untuk menjadi
pengurus.
Apalagi dalam regulasi aturan pers dan lembaga
terkait tidak mencantumkan adanya pelarangan kecuali KPK, KPU, Bawaslu dan DKPP
yang memang sudah diatur di lembaga tersebut.
Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya pasal tersebut dianulir dan diperbaiki dengan dalih
kesalahan dalam penginputan data.
Begitulah perjalanan Kongres PWI di Bandung, penuh
dinamika dan intrik. Strategi
memenangkan calon pemimpin PWI untuk 5 tahun kedepan pun dilakukan dengan
berbagai cara. Perlu perubahan, juga penguatan dan semangat membangun
organisasi profesi kewartawan yang kuat adalah tujuan kita bersama.
Banyak hal-hal yang perlu disempurnakan, dan kita
percayakan saja kepada mereka yang terpilih menjadi pengurus. Rumah Besar PWI
kini dinakhodai Hendry Bangun bersama Sasongko Tedjo selaku punggawa etik bagi
anggota .
Selamat berkarya Bang Hendry & Mas Sasongko,
terima kasih Bang Atal dan Bang Ilham. Karyamu tetap kami kenang. Itu saja.