Pemilik Lahan Embung Anak Munting Ancam Ambil Kembali Lahan

Ven Darung - Minggu, 27 April 2025 17:52 WIB
Pemilik Lahan Embung Anak Munting Ancam Ambil Kembali Lahan
Ven Darung
Para pemilik lahan Embung Anak Munting ancam ambil kembali lahan karena tak ada pelunasan pembayaran ganti rugi.
bulat.co.id,Labuan Bajo -Belasan pemilik lahan Embung Anak Munting di desa Warloka kecamatan Komodo kabupaten Manggarai Barat provinsi Nusa Tenggara Timur ancam mengambil kembali lahan yang telah dibangun Embung Anak Munting. Minggu, [27/4] siang.

Hal itu dilakukan oleh belasan pemilik lahan itu lantaran belum ada pelunasan pembayaran dana ganti rugi lahan yang dijanjikan pemerintah sejak 2022 lalu.

Advertisement

Haji Abbas [51], salah satu pemilik lahan saat diwawancara oleh sejumlah awak media menjelaskan bahwa, pada bulan Juni tahun 2022 lalu, tim Pembuat Perjanjian Kerja [PPK] dari dinas PUPR Provinsi NTT datang survei lokasi.

Baca Juga:

Setelah PPK melakukan survei, semua pemilik lahan berkumpul di rumah Haji Abbas di kampung Kenari. Setelah mendapat penjelasan bahwa lokasi ini akan dibangun Embung untuk Pariwisata, semua warga setuju.

"Setelah mendapat ijin, tim melakukan survei. Mereka mengambil sampel tanah, lalu dikirim ke Bandung. Setelah 2 minggu dari situ, mereka memberitahu bahwa, lokasi bisa dibangun Embung. Perjanjiannya waktu itu, ketika lokasi ini layak untuk dibangun Embung, maka sosialisasi lanjutan dilakukan. Ternyata lokasi ini layak untuk dibangun Embung," jelas Haji Abbas. Minggu, [27/4] siang.

Setelah itu, jelas Haji Abbas, pemilik lahan berkumpul kembali untuk melakukan musyawarah terkait harga lahan. Sehingga pada saat itu, kata Haji Abbas, disepakatilah soal harga.

"Kesepakatannya pada waktu itu, harga per meternya Rp.350 ribu. Itu disepakati. Yang kedua, tentang pembayaran, pada saat itu kami minta hanya dilakukan dua kali. Yang pertama, 50% sebelum lokasi ini disentuh oleh perusahaan [PT. Yodya Karya]. Kedua, 50% sebelum diresmikan. Itu termuat dalam berita acara. Sehingga setelah itu dilanjutkan dengan sosialisasi di kantor desa Warloka, disanalah kita buat berita acara kesepakatan yang waktu itu dihadiri oleh PPK dan perwakilan Pemda waktu itu, kepala Satpolpp, Stef Salut," jelasnya.

Tepat pada bulan Agustus, lanjut Haji Abbas, permintaan pemilik lahan terkait 50% pembayaran diawal, tidak penuhi.

Kata Haji Abbas, hal itu karena menurut Balai Wilayah Sungai [BWS] Provinsi NTT dan PPK, dana pemerintah belum bisa dicairkan kalau memang pekerjaan belum selesai. "Sehingga terkait permintaan kami, mereka kerjamasama dengan PT. Yodya Karya untuk talang. Namun pihak perusahaan tidak mampu membayar 50%," lanjutnya.

BWS Provinsi NTT dan PPK meminta kebijaksanaan pemilik lahan. "Kebijaksanaan kami waktu itu, pembayarannya, total harga lahan dibawah 1 Miliar dibayar 25%, sedangkan di atas 1 Miliar dibayar 10 Miliar. Dan itu terlaksana. Kami terima talangan itu dan dimuat dalam berita acara.

Pembayaran itu dilakukan berdasarkan ukuran tanah yang diukur oleh tim Larap, konsultannya PT. Yodya Karya. Setelah proses pembayaran 25% dan10% dilakukan, perusahaan mulai melakukan pengerjaan pada bulan Agustus, jelas Haji Abbas.

Dia menuturkan, sebelum kegiatan ASEAN Summit, proses pengerjaan mulai rampung, kata dia tinggal 15 %.

"Kami tanya lagi, pengerjaan hampir selesai, tetapi BPN tidak mengeluarkan Peta Bidang, itu yang kami nuntut supaya segera bayar. Akhirnya mereka bilang, kami sementara proses. Kami sempat melakukan aksi mogok kerja. Kami larang para pekerja untuk melakukan aktivitas. Karena pembayaran masih menggunakan dana talang dan belum lunas juga, sementara proses pengerjaan hampir rampung. Kami juga membentang baliho dengan tulisan Kami Belum Ijinkan Tempat Ini Diresmikan Sebelum Pembayarannya Lunas," tuturnya.

Haji Abbas juga mengungkapkan bahwa saat itu para pemilik lahan didatangi oleh Kasat Intel Polres Manggarai Barat.

"Kami dijemput untuk masuk ke ruangannya Kasat Intel. Sampai di ruangan Kasat Intel, dibuatlah berita acara yang berbunyi, kami mengijinkan proses pengerjaan. Tetapi kami tetap menuntut untuk menambah dana talangan, kemudian, kami juga menuntut pelusanan pembayaran. Kasat Intel waktu itu menyampaikan bahwa, beri waktu kepada pihak terkait hingga bulan September," ungkapnya.

Bunyi berita acara pertemuan antara BWS dan Pemilik Lahan yang difasilitasi oleh Polres Manggarai Barat di Ruangan Kasat Intel.

1. Penetapan hasil ukur oleh BPN Manggarai Barat pada tanggal 23 Mei 2023

2. Pemberian dana talangan bagi yang terdampak dengan nilai 5 % untuk nilai ganti rugi di atas 1 Miliar dan 10 % untuk nilai di bawah 1 Miliar dan akan dibayarkan paling lambat pada tanggal 23 Mei 2023.

3. Pembayaran ganti rugi lahan dilakukan paling lambat tanggal 30 oktober 2023 dikurangi dana talangan yang telah diterima.

4. Pekerjaan tetap dilakukan di lokasi embung anak munting.

5. Dengan adanya kesepakatan ini, kesepakatan terdahulu dinyatakan gugur dan tidak berlaku.

6. Apabila pembayaran tidak dilakukan berdasarkan poin poin tersebut, maka masyarakat pemilik lahan dapat mengambil alih lokasi tersebut dan tidak mengambil kembali dana talangan yang telah diterima.

Berita acara ini ditanda tangani oleh perwakilan pemilik lahan, diantaranya; Abdul Rasyid, Haji Abbas dan Haji Sulaiman Herman Yusuf. Sedangkan dari pihak BWS Provinsi NTT ditandatangani oleh Nahasan Harianndia dan Isak Mesak.

"Tetapi, sejak berita acara itu ditandatangan hingga hari ini tidak ada realisasi. Kami tanya di BPN, BPN bilang kami masih proses, kami tanya di BWS, BWS bilang kami masih menunggu Peta Bidang dari BPN. Keduanya saling lempar tanggung jawab. Sekarang sudah tahun 2025, pelunasan pembayaran belum juga dilakukan," tuturnya.

Dia menegaskan bahwa BWS Provinsi harus segera melakukan pelunasan pembayaran.

"Hari ini, kami pemilik lahan dengan tegas menyampaikan bahwa apabila pihak Balai Wilayah Sungai provinsi NTT tidak membayar pelunasan, maka kami pemilik lahan akan mengambil kembali. Apabila kepala BPN tidak mengeluarkan peta bidang, maka semua berkas kami yang ada di BPN akan kami tarik kembali," tegasnya.

"Saya, sebelum ada pembangunan embung anak munting di sini, saya sudah membuat kandang kerbau. Saya keluarkan uang banyak. Tapi karena ini [embung] untuk pariwisata dan program negara, maka saya rela lokasi saya diambil. Tetapi ketika ganti rugi lahan tidak dilakukan, maka saya akan bangun kandang kerbau di sini," tutup Haji Abbas.

Senada dengan Haji Abbas, Haji Yusuf Sulaiman juga mengatakan hal yang sama.

Kata Haji Yusuf, lokasi Embung Anak Munting merupakan lumbung bagi mereka. Dari tempat itulah mereka bisa membiayai kehidupan keluarga, biaya pendidikan anak anak.

"Lokasi ini adalah lumbung bagi kami, tempat bagi kami memelihara ternak. Di sini ada kandang kerbau. Dari tempat ini kami bisa membiayai kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan anak anak kami. Kami paham bahwa pembangunan ini untuk kepentingan umum, maka kami tanggalkan kepentingan pribadi kami. Kami paham itu. Tetapi pemerintah hingga hari ini belum melakukan pelunasan pembayaran. Pemerintah seperti membunuh kami masyarakat kecil," ungkapnya.

Dikatakan Haji Yusuf, setelah pembangunan embung di kolasi itu, ternak mereka jadi terlantar.

"Saya merasa prihatin, pemerintah saling lempar kesalahan. Tetapi tidak memikirkan tentang bagaimana keadaan masyarakat. Sekitar 53 orang diterlantarkan. Apakah mereka tidak punya pri kemanusiaan. Seandainya mereka ada diposisi kami. Yang saya tidak paham dari BPN, sudah ukur tiga kali, sudah tanda tangan garis ukur tetapi pada akhirnya tidak mengeluarkan peta bidang. Sedangkan itu yang diminta oleh BWS untuk bisa keluarkan dana ganti rugi," jelasnya.

Haji Yusuf meminta BPN Manggarai Barat dan BWS Provinsi NTT bersama pemilik lahan duduk bersama mencari solusi.

Pembangunan Embung ini menyisahkan kisah pedi. Haji Hasan Idris, yang memiliki lahan seluas 4 Ha rela berutang untuk membeli tanah pengganti tanah yang dipakai untuk membangun embung.

"Saya salah satu pemilik lahan dengan luas 4 Ha. Tanah itu merupakan tanah yang akan saya wariskan ke anak cucu saya. Setelah ada pembangunan embung, dana talang itu saya gunakan untuk membeli dua bidang tanah. Saya ngutang sampai 2 Miliar karena jaminannya dana ganti rugi lahan ini. Saya mau supaya anak cucu saya tetap memiliki tanah warisan," ungkap Haji Hasan Idris.

Dia mengungkapkan bahwa karena tanah seluas 4 Ha miliknya itu sudah diambil untuk bangun embung, maka tanggung jawabnya adalah menggantikan tanah itu dengan membeli lahan di tempat lain.

"Tapi dengan kondisi ini, saya merasa terbeban. Bagaimana membayar utang dan membiayai pendidikan anak anak saya," keluhnya.

Muhamad Idris, kelompok pemilik tanah batu menegaskan bahwa BPN Manggarai Barat harus mengeluarkan Peta Bidang agar BWS Provinsi NTT bisa mengeluarkan anggaran.

Senada dengan Muhamad Idris, Muhaijin, kelompok tanah batu meminta BPN Manggarai Barat dan BWS Provinsi NTT untuk tidak saling menyalahkan.

"Harapan kami secepatnya diselesaikan. Masa pemerintah saling menyalahkan," pungkasnya.

Editor
: Ven Darung
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru