Densus 88 Gelar Dialog Kebangsaan di Labuan Bajo, Habib Bob Kribo Jadi Pembicara

Dia juga menegaskan, bahwa
sebagai orang Indonesia, kita bersyukur memiliki Pancasila, karena dengan
Pancasila segala perbedaan yang ada bisa disatukan, bahkan bagi Habib berambut
gondrong ini, kedudukan Pancasila setara dengan piagam Madinah. "Kalau
jaman Nabi ada piagam Madinah untuk mengelola berbagai perbedaan, di Indonesia
kita memili Pancasila," ucapnya tegas.
Baca Juga:
Pada moment tersebut, Habib berambut ikal dan gondrong ini juga menceritakan pengalamannya selama berada di Labuan Bajo. Menurutnya Labuan Bajo begitu indah. Ia berharap agar senantiasa menjaga daerah ini dari paham-pahan Intoleran, radikalisme dan terorisme. Menurutnya, sekali saja ada ledakan bom di Labuan Bajo, maka orang-orang akan enggan berkunjung. Berbagai keindahan alam yang ada pun akan menjadi sia-sia.
Baca Juga :Negara ASEAN Bersatu Tanggulangi Kejahatan Transnasional di Era Globalisasi
"Pada saat ke
Golomori, saya lihat begitu indahnya tempat itu, dalam hati berkata semoga saja
tidak ada orang radikal di sini, sebab sekali saja ada letupan, maka selesai
semuanya," ujar Habib Kribo.
Pada sesi tanya jawab,
terdapat tiga orang dari peserta yang diberikan kesempatan untuk menaggapai
ataupun memberikan pernyataan, yakni Ardi Dahim (FKDM), Hajenang, S.H
(Muhamadiyah) dan Robhani (NU).
Bagi Ardi Dahim persoalan
yang paling ditakutinya di Labuan Bajo bukanlah persoalan toleransi, karena
sejak dahulu sikap toleran sudah terwariskan secara turun-temurun dari para
leluhur, justru yang paling ditakutinya adalah persoalan monopoli ekonomi oleh
pihak luar dan sepak terjang para mafia tanah. Ia resah satu saat nanti hal ini
bisa memunculkan konflik.
Senada dengan Ardi, Labuan
Bajo bagi Hajenang adalah kota kasih, tingkat toleransinya sangat tinggi. "Dalam
satu rumah di Labuan Bajo, penghuninya bisa terdiri dari 2 atau lebih penganut
agama yang berbeda. Sehingga bicara toleransi di Labuan Bajo ini, sebenarnya
kita sudah khatam pak," ungkapnya.
Hajenang pun mengatakan
bahwa persoalan yang sedang terjadi sebenarnya adalah munculnya berbagai wacana
dan cara paham baru, dari luar yang mencoba merasuki masyarkat lokal. Fenomena
ini menurutnya, harus segera dipikirkan dan didiskusikan bersama oleh seluruh
stakeholder yang ada.
Selain menjelaskan sistem
kekerabatan orang Manggarai yang begitu kuat, sebagai fondasi dasar bagi
terciptanya budaya toleransi yang kokoh, Rohbani, penanya terakhir, meminta
kepada Habib Zein untuk menjelaskan bagaimana berbagai pemikiran radikal itu
bisa muncul, apakah sengaja diciptakan oleh pihak lain diluar Islam? Karena
menurutnya, dalam Islam sendiri, tidak mengajarkan orang menjadi intoleran,
radikal, apalagi menjadi teroris.
Menanggapi pertanyaan
Rohbani, Habib Kribo pun menjelaskan, bahwa kelompok radikal dan terorisme
sesungguhnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, bahkan nabi telah memberikan
isyarat terkait kelompok-kelompok Islam radikal ini. Mereka, kata Habib
Zein, diisyaratkan oleh nabi sebagai orang yang membaca Al Quran hanya sampai
di tenggorokan saja.
Bukti nyata dari
eksistensi kelompok radikal ini pada zaman nabi, lanjut Habib Kribo, dimana
setelah nabi wafat, semua keluarga, termasuk menantu dan sahabatnya nabi, Ali
bin Abi Tholib dibunuh dan dipenggal oleh sesama umat Islam, yakni kelompok
khawarij. Jadi kelompok radikal dan terorisme yang ada hari ini, sebenarnya
sudah ada sejak zaman nabi. Saat ini mereka terus berkembang dan
menimbulkan berbagai teror. Syukurlah kita di Indonesia, memiliki Densus 88
dalam menghadapi dan mencegah berbagai tindakan radikal dan teroris yang ingin
menghancurkan bangsa ini.
"Selama ini kita bisa
tidur nyenyak, karena ada Densus 88. Kalau tidak ada Densus, saya ngga tau, apa
yang terjadi dengan negara ini," ucap Habib Kribo.
Pada kesempatan tersebut,
Habib Kribo juga menjelaskan terkait peran penting Muhamadiyah dan NU dalam
menagkal berbagai upaya kaum radikal dan terorisme yang ingin menghancurkan
bangsa ini.
Ia juga meminta, agar semua
warga negara, harus benar- benar menjaga dan mencintai negara ini dari barbagai
rongrongan kaum radikal dan teroris.
"Kita harus peduli
dengan bangsa ini. Indonesia adalah negara paling indah. Tuhan kasih
bangsa ini dengan segala kehebatannya. Islam itu ada di sini, Katolik juga ada
di sini, Protestan juga ada di sini, Hindu dan Budha pun ada di sini. Indonesia
benar-benar diberkati Tuhan. Kita duduk saat ini, saya yakin Yesus dan Muhammad
tersenyum," tutur Habib Zein Bin Asegaf mengakhiri pembicaraan.
Masifnya kegiatan
sosialisasi yang dilakukan Tim Idensos NTT Densus 88 AT bukanlah tanpa alasan, fakta
di lapangan menunjukkan bahwa terdapat puluhan warga Manggarai Barat yang
teridentifikasi sudah terpapar dan bergabung dengan organisasi radikal dan
terorisme.
Giat sosialisasi terkait
bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme yang selama ini dilakukan,
ternyata memberikan pengaruh yang sangat signifikan, sesetidaknya pada (15/08/2023)
lalu, 14 orang yang terdiri dari 12 orang warga Manggarai Barat anggota
Khilafatul Muslimin, 1 orang warga Manggarai Timur anggota Jamaah Islamiah dan
1 orang warga Ende anggota Jamaah Ansorut Daulah, dengan sadar melepas bai'at
pada organisasinya dan menyatakan sumpah setia kembali ke NKRI dan mengakui
Pancasila sebagai satu-satunya Ideologi Negara.
Keberhasilan team Idensos
SGW NTT Densus 88 AT Polri mengajak 14 orang eks anggota organisasi radikal
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, tidak menyurutkan niat dari kesatuan ini untuk
terus memerangi radikalisme dan terorisme di Manggarai Barat.

Uskup Labuan Bajo Jalan Salib Bersama Tahanan di Labuan Bajo

PMKRI Cabang Labuan Bajo Mengecam Keras Upaya Privatisasi Pantai di Labuan Bajo

Pelaku Wisata: Labuan Bajo Masih Promosi untuk Hadirkan Investor

Warga di Labuan Bajo Marahi Pemilik Hotel karena Dilarang Masuk Pantai

Pelaku Pembunuhan di Labuan Bajo Terancam Bui 15 Tahun
